Tuesday, 22 February 2011

Menyambung Tali Persaudaraan ‘Shilaturrohim’

“Baarokallohu Laka, Wabaroka ‘Alaikuma Wajama’a Bainakumaa Fil Khoiir”

Suatu pernikahan merupakan salah satu sarana yang sangat baik untuk menyambung tali silaturrohim antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, atau untuk merekatkan hubungan kekeluargaan yang sudah jauh. Jangan sampai terjadi, hanya karena kepingin nikah lantaran belum punya biaya untuk pernikahan terus nekad mencuri. Cara yang demikian ini tidak terpuji, malah menjauhkan tali shillaturrohim bahkan memutusnya. Semua ikut menanggung malu, karena budi ashor.

Jangan pula karena sudah kebelet nikah tapi gagal menjalani pernikahan, apa pun yang menjadi penyebabnya terus nekad mengakhiri hidupnya dengan berbagai macam cara. Entah itu dengan minum baigon atau menenggak racun, atau bahkan gantung diri.

Jadi, janganlah niat baik awal ingin menikah adalah untuk menjalin hubungan silaturrohim lalu kita kotori dengan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, seperti mencuri, membawa lari istri orang, atau calon orang yang sudah dalam lamaran ..! Ingat, bahwa orang yang mati karena bunuh diri, maka ia akan disiksa dengan alat dan cara yang ia gunakan untuk bunuh diri.

Hal ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rosulullohi Shollalloohu Alaihi Wasallam, yaitu memperisteri Aisyah dengan harapan agar Abu Bakar yang menjadi tulang punggung penyebaran agama Islam agar lebih giat dan lebih kokoh dalam pembelaannya terhadap perjuangan beliau saat itu. Demikian juga, beliau mengawinkan Fatimah dengan Ali bin Abu Tholib agar hubungan beliau dengan Ali semakin erat dan kokoh.

Baru-baru ini, kita dihebohkan oleh seorang ‘syekh‘ adalah sebutan lain bagi orang laki-laki yang telah ‘lansia’ lanjut usia atau ‘manula’ alias “Mbah kakung”, yang ingin memperisteri seorang anak perempuan yang masih di bawah umur dengan alasan ingin mengikuti sunnah rosul, yaitu menikahi Aisyah pada usia 9 tahun, namun niatnya tersebut terganjal oleh undang-undang perkawinan yang melarangnya menikahi perempuan di bawah umur. Dan sebagai solusinya adalah kawin ‘gantung‘ artinya pernikahannya secara agama dapat dilakukan, namun hubungan badannya belum bisa dilakukan, menunggu hingga istrinya yang masih di bawah umur itu sampai berumur 16 tahun.

Peristiwa tersebut dapat kita ambil hikmahnya, bahwa dalam hal perkawinan, disamping kita harus memahami hubungan kita kepada Alloh Ta'alaa, yaitu dengan cara memahami hukum-hukum agama dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, juga harus memahami hubungan kita dengan manusia, yaitu dengan cara memahami norma susila, berikut UUD 45 yang berhubungan dengan perkawinan, sehingga perkawinan kita itu sah menutut peraturan pemerintah yang sah, dan juga sah menurut peraturan agama. Inilah awal dari ketentraman hidup berumah tangga.

Seringkali kita dengar orang-orang yang membangun karir bertahun-tahun akhirnya terpuruk oleh kelakuan keluarganya. Ada yang dimuliakan di kantornya tapi dilumuri aib oleh anak-anaknya sendiri, ada yang cemerlang karirnya di perusahaan tapi akhirnya pudar oleh perilaku isterinya dan anaknya. Ada juga yang popular di kalangan masyarakat tetapi tidak popular di hadapan keluarganya. Ada yang disegani dan dihormati di lingkungannya tapi oleh anak isterinya sendiri malah dicaci-maki, sehingga kita butuh sekali keseriusan untuk menata strategi yang tepat, guna meraih kesuksesan yang benar-benar hakiki. Jangan sampai kesuksesan kita hanya bersifat ‘semu’. Merasa sukses padahal gagal, merasa mulia padahal hina, merasa terpuji padahal buruk, merasa cerdas padahal bodoh, ini namanya tertipu

No comments:

Post a Comment