Tuesday, 22 February 2011

Menganggap pernikahan sebagai sumber penghasilan

Paradigma seperti ini bukannya nggak ada. Banyak laki-laki atau perempuan yang mencari pasangan hidup dengan kriteria tertentu. Misalnya, memiliki suami atau istri yang punya gaji tetap sekian juta, pegawai negeri yang punya pensiunan, mempunyai rumah, mempunyai mobil "ALFHARD", menaikkan haji, dan masih banyak alasan lainnya. “nggak apa-apa deh duda, yang penting kaya”. “nggak apa-apa deh janda, yang penting rondo teles (mak: janda kaya)”. Kata mereka yang mempunyai paradigma pernikahan sebagai sumber rezeki.

Paradigma pernikahan sebagai sumber penghasilan ini menjadikan seseorang memiliki harapan besar terhadap pasangan hidupnya. Tentunya, paradigma ini menghasilkan orang-orang yang tergantung pada pasangan hidupnya. Layaknya benalu, gitu lo.

Cerita remaja menjelang tidur malam:
Amelia El-Bana Mirzani (sudah pasti bukan nama sebenarnya) telah bertahun-tahun bekerja sebagai tenaga amal sholeh bagian menyetrika di salah satu orkit (baca: orang kita) untuk menghidupi suami dan anak-anaknya. Bukan hanya itu, setiap pagi sebelum melaksanakan tugasnya di tempat orang kita itu Amel (panggilan akrabnya) membuat makanan ringan seperti gorengan dan nasi uduk ditambah sayur-sayur matang yang sudah dibungkus. Kemudian ia dititipkan di warung-warung kecil di sekitar rumahnya. Kadang, kalau lagi ada pengajian ibu-ibu desa, ia berharap agar dagangan yang dijajakan di masjid bisa lebih banyak lagi yang laku. Sementara itu, di rumah, sang suami sibuk teuk pararuguh (bahasa sunda: tidak jelas kerjanya). Tidak ada inisiatif untuk membantu meringankan beban istrinya. Tampaknya rasa malu pun tidak dikenalnya lagi. Sebenarnya, tim dhu’afak sudah sangat maksimal mencarikannya pekerjaan, namun lagi-lagi ia keluar dari tempat kerjanya, dengan alasan tidak betah, tidak biasa.

Ada juga wanita-wanita hum (sebutan orang selain orkit) yang melakukan kawin kontrak, kawin mut’ah. Dengan bayaran tertentu dan berlaku dalam jangka waktu tertentu, terkadang sampai mempunyai anak. Kawin kontrak disini bukannya kawin kemudian ngontrak rumah, melainkan kawin alias nikah dengan kontrak waktu yang disepakati berdua. Begitu waktu yang disepakati telah habis, selesailah pula masa perkawinan mereka, bubar. Kawin kontrak ini bahkan bisa menjadi profesi dan menjadi sumber penghasilan dalam arti sesungguhnya. Seperti yang banyak terjadi di sekitar wilayah puncak, kebanyakan pasangan laki-lakinya dari Arab Saudi. Mereka yang mempunyai bisnis biro perjalanan haji dan maktab di Saudi Arabia. Biasanya banyak terjadi menjelang musim haji. Sungguh mengerikan, karena kawin kontrak itu hukumnya harom. Tapi kalau kamu kawin secara syah sama orang kaya, kemudian kamu dilarangnya bekerja karena semua kebutuhan sudah dicukupi, itu tidak apa-apa, itu namanya rezeki halal.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam malah menganjurkan, dalam Hadits Ad-Dailami, yang berbunyi:
Yang artinya: “Mencarilah rezeki dengan cara menikah !”

No comments:

Post a Comment